Senin, 02 Januari 2012

FOTORESPIRASI

Tumbuh dan berkembang merupakan salah satu ciri adanya kehidupan. Peristiwa tumbuh dan berkembang merupakan peristiwa biologis yang terjadi pada makhluk hidup secara bersama-sama dan salin melengkapi. Faktor internal dan faktor eksternal berkerja sama dalam pertumbuhan dan perkembangan.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan, terjadi rangkaian reaksi dalam tubuh yang disebut metabolisme. Ada dua jenis metabolisme, yaitu katabolisme dan anabolisme. Katabolisme merupakan proses dalam sel berupa suatu reaksi biokimia penyederhanaan atau penguraian dari bahan organik menjadi struktur yan lebih sederhana dengan menghasilkan energi kimia, misalkan yang terjadi pada proses respirasi dan fermentasi. Sedangkan anabolisme merupakan reaksi biokimia sintesis (pembentukan) bahan organik sel dai bahan sederhana (anorganik) dengan menggunakan energi. Proses anabolisme terjadi pada fotosintesis.
Sehingga fotorespirasi merupakan proses fisiologi tersendiri yang melibatkan reaksi metabolisme (kataolisme sekaligus anabolime) dimana proses pernapasan dalam tumbuhan jalannya dipengaruhi oleh banyaknya cahaya yang diterima. Seperti yaNg kita ketahui rerpirasi merupakan reaksi penyderhanaan senyawa sumber energi sel atau proses pengikatan energi kabohidrat (glukosa) oleh sel dalam bentuk ATP yang menghasilkan senyawa berenergi unuk keperluan selnya. Pada umumnya proses ini terjadi di mitokondria. Sedangkan fotosintesis merupakan reaksi asimilasi karbon menjadi senyawa karbohidrat yang melibatkan cahay asebagai sumber energi.
Peranan tumbuhan sebagai sumber energi utama bagi berbagai kehidupan di dunia memungkinkan karena kemampuan klorofil menangkap energi cahayamatahari dan mengubahnyamenjadi eneri potensial kimia. Melalui proses fotosintesis molekul-molekul CO2  dan air yang diambil dari sekitarnya, sel-sel tumbuhan membentuk senyawa karbohidrat. Dan sebagai hasil tambahan dari proses fotositesis ini ikeluarkan kelebihan O2  sehingga udara selalu berisi dengan udara segar kembali.
Pertanian pada dasarnya merupakan sistem pemanfaatan energi matahari melalui proses fotosintesis. Sebagi sumber energi utama bagi manusia, fotosintesis telah memasok energi untuk makanan dan bahan bakar fosil yang memberikan tenaga untuk pembangkit tenaga listrik dan banyak mesin lainnya. Studi mengenai fisiologi tanaman budidaya segera menghasilkan penemuan bahwa produksi tanaman budidaya pada dasarnya tergantung pada ukuran dan efisiensi sistem fotosintesis ini. Praktik-praktik pengelolaan tanaman budidaya berlangsung berdasarkan asumsi ini. Karena fotosintesis merupakan batu pijakan produksi pangan, kita perlu memahami tentang energi yang tersedia untuk mengadakan fotosintesis dan memahami bagaimana ciri anatomi dan proses biokimia dalam tubuh tumbuhan berinteraksi untuk menangkap dan menyimpan energi radikal.





























I.                   PEMBAHASAN

Fotorespirasi adalah sejenis respirasi pada tumbuhan yang dibangkitkan oleh penerimaan cahaya yang diterima oleh daun. Diketahui pula bahwa kebutuhan energi dan ketersediaan oksigen dalam sel juga mempengaruhi fotorespirasi. Walaupun menyerupai respirasi (pernafasan) biasa, yaitu proses oksidasi yang melibatkan oksigen, mekanisme respirasi karena rangsangan cahaya ini agak berbeda dan dianggap sebagai proses fisiologi tersendiri.
Proses yang disebut juga "asimilasi cahaya oksidatif" ini terjadi pada sel-sel mesofil daun dan diketahui merupakan gejala umum pada tumbuhan C3, seperti kedelai dan padi. Lebih jauh, proses ini hanya terjadi pada stroma dari kloroplas, dan didukung oleh peroksisom dan mitokondria.
Secara biokimia, proses fotorespirasi merupakan cabang dari jalur glikolat. Enzim utama yang terlibat adalah enzim yang sama dalam proses reaksi gelap fotosintesis, Rubisco (ribulosa-bifosfat karboksilase-oksigenase). Rubisco memiliki dua sisi aktif: sisi karboksilase yang aktif pada fotosintesis dan sisi oksigenase yang aktif pada fotorespirasi. Kedua proses yang terjadi pada stroma ini juga memerlukan substrat yang sama, ribulosa bifosfat (RuBP), dan juga dipengaruhi secara positif oleh konsentrasi ion Magnesium dan derajat keasaman (pH) sel. Dengan demikian fotorespirasi menjadi pesaing bagi fotosintesis, suatu kondisi yang tidak disukai kalangan pertanian, karena mengurangi akumulasi energi. Jika kadar CO2 dalam sel rendah (misalnya karena meningkatnya penyinaran dan suhu sehingga laju produksi oksigen sangat tinggi dan stomata menutup), RuBP akan dipecah oleh Rubisco menjadi P-glikolat dan P-gliserat (dengan melibatkan satu molekul air menjadi glikolat dan P-OH). P-gliserat (P dibaca "fosfo") akan didefosforilasi oleh ADP sehingga membentuk ATP. P-glikolat memasuki proses agak rumit menuju peroksisoma, lalu mitokondria, lalu kembali ke peroksisoma untuk diubah menjadi serin, lalu gliserat. Gliserat masuk kembali ke kloroplas untuk diproses secara normal oleh siklus Calvin menjadi gliseraldehid-3-fosfat (G3P) < anonim,2009 >.
Pada tanaman C3, Reaksi pertama dalam jalur reduksi pentosa pospat adalah pembentukan produk beratom karbon 3 yaitu asam 3 fosfogliserat. Kebanyakan tanaman yang mengikat karbon dengan jalur ini disebut tanaman C3. Meskipun demikian fiksasi CO2  tanaman C3 dihambat proses fotorespirasi. Proses ini bergantung dari kemampuan enzim rubisco yang juga berfungsi sebagai oksigenase. Dalam hal ini oksigen didikat oleh enzim dan bereaksi dengan 1,5 difosforibulose untuk membentuk 2 fosfoglikosidik dan asam 3 fosfogliserat.

                        ribulose
O2 + 1,5 Difosforibulose                                 2 Fosfoglukolat + 2 Fosfogliserat

2 Fosfoglikolat tidak bisa digunakan dalam jalur reduksi fosfat tetapi 2 molekul dari substrat akan bereaksi kemudian sepanjang jalur siklik. Melibatkan glisin, serin, dan gliserat untuk menghasilkan 1 molekul 3 fosfogliserat, 1 molekul CO2, dan 1 molekul anorganik fosfat.
Fotorespirasi hingga kini bersaing dengan asimilasi karbon dioksida dan membuat fotosintesis kurang efisien. Sebanyak 30 – 50% dari karbon yang digunakan oleh fotosintesis hilang oleh fotorespirasi pada tumbuhan normal C. Proses distimulasi oleh cahaya dan temperature yang meningkat dan dengan demikian secara khusus tidak menguntungkan untuk tanaman yang tumbuh di tempat beriklim panas.
Telah ada banyak perkiraan tentang fakta bahwa enzim rubisco juga mendukung suatu proses yang bertentangan dengan fungsi utamanya. Tidak ada deskripsi yang jelas mengenai hal ini, tetapi sebuah usulan menyatakan bahwa proses untuk melindungi  kloroplas pada tumbuhan dari kerusakan oleh cahaya matahari yang kuat pada kondisi kering, ketika CO2 dihalangi untuk masuk ke daun karena stomata menutup dengan tujuan untuk menghindari kehilangan air. Oksigen dapat masuk dengan difusi melewati kutikula daun, dan dengan demikian fotorespirasi dapat dilakukan dan ATP dan NADPH yang dihasilkan oleh proses fotosintesis dapat digunakan. Sebaliknya, akumulasi dari senyawa kaya energi ini – di mana tidak dapat digunakan untuk fotosintesis normal karena kekurangan CO2 – bisa mempengaruhi kloroplas. Hal itu secara aktual telah ditunjukkan dimana tumbuhan terkondisikan untuk memperkuat penyinaran di bawah kondisi dimana oksigen dicegah untuk masuk ke daun, tidak dapat memfotosintesis pada kecepatan normalnya ketika hal itu kembali pada kondisi normal. Ini mengindikasikan bahwa kerusakan permanen pada alat fotosintesis terjadi.
Peran fotorespirasi diperdebatkan namun semua kalangan sepakat bahwa fotorespirasi merupakan penyia-nyiaan energi. Dari sisi evolusi, proses ini dianggap sebagai sisa-sisa ciri masa lampau (relik). Atmosfer pada masa lampau mengandung oksigen pada kadar yang rendah, sehingga fotorespirasi tidak terjadi seintensif seperti masa kini. Fotorespirasi dianggap bermanfaat karena menyediakan CO2 dan NH3 bebas untuk diasimilasi ulang, sehingga dianggap sebagai mekanisme daur ulang (efisiensi). Pendapat lain menyatakan bahwa fotorespirasi tidak memiliki fungsi fisiologis apa pun, baik sebagai penyedia asam amino tertentu (serin dan glisin) maupun sebagai pelindung klorofil dari perombakan karena fotooksidasi.
Karena tidak efisien, sejumlah tumbuhan mengembangkan mekanisme untuk mencegah fotorespirasi. Untuk menekan fotorespirasi, tumbuhan C4 mengembangkan strategi ruang dengan memisahkan jaringan yang melakukan reaksi terang (sel mesofil) dan reaksi gelap (sel selubung pembuluh, atau bundle sheath). Sel-sel mesofil tumbuhan C4 tidak memiliki Rubisco. Strategi yang diambil tumbuhan CAM bersifat waktu (temporal), yaitu memisahkan waktu untuk reaksi terang (pada saat penyinaran penuh) dan reaksi gelap (di malam hari) < salisbury,1995 >.














II.                KESIMPULAN


1.                  Fotorespirasi adalah sejenis respirasi pada tumbuhan yang dibangkitkan oleh penerimaan cahaya yang diterima oleh daun.
2.                  Fotorespirasi terjadi pada sel-sel mesofil daun dan diketahui merupakan gejala umum pada tumbuhan C3.
3.                  Peran masih diperdebakan tetapi Fotorespirasi dianggap bermanfaat karena menyediakan CO2 dan NH3 bebas untuk diasimilasi ulang, sehingga dianggap sebagai mekanisme daur ulang (efisiensi).
























DAFTAR PUSTAKA
Anonim.11:48AM Kamiz,16 April 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/Fotorespirasi.
Garnerd F.P, et all.1991.Fisiologi Tanaman Budidaya.UI Press: Bandung.
Salisbury, F. B.1995.Fisiologi Tumbuhan Jilid 1 & 2. ITB:Bandung.

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH DI WILAYAH JABODETABEK

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi permasalahan besar dalam perkembangan kota-kotanya. Fenomena urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang kota, seperti fasilitas perumahan, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Pada tahun 1980 penduduk perkotaan berjumlah sekitar 32,85 juta (22,27% dari jumlah penduduk nasional). Tahun 1990 jumlah penduduk perkotaan menjadi sekitar 55,43 juta (30,9% dari jumlah penduduk nasional). Tahun 1995 jumlah penduduk perkotaan menjadi sekitar 71.88 juta (36,91% dari jumlah penduduk nasional).  Saat ini jumlah penduduk perkotaan seluruhnya diperkirakan mencapai hampir 110 juta orang, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 3 juta orang.
Sensus penduduk tahun 2000 mencatat total jumlah penduduk adalah 206.264.595 jiwa. Tingkat urbanisasi mencapai 40% (tahun 2000), dan diperkirakan akan menjadi 60% pada tahun 2025 (sekitar 160 juta orang) (Deputi Bidang Tatalaksana Pertanahan,2002). Laju pertumbuhan penduduk perkotaan pada kurun waktu 1990-2000 tercatat setinggi 4,4%/tahun, sementara pertumbuhan penduduk keseluruhan hanya 1,6%/tahun. Perkembangan kota-kota yang pesat ini disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota, perpindahan dari kota lain yang lebih kecil, pemekaran wilayah atau perubahan status desa menjadi kelurahan (Dirjen Perumahan dan Permukiman,2002).
Ruang dilihat sebagai wadah dimana keseluruhan interaksi sistem sosial (yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumberdaya alam dan sumberdaya buatan) berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal. UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang mengisyaratkan agar setiap kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang bagi setiap kegiatan pembangunan. RTR Wilayah Kota merupakan rencana pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan dan pengendalian program-program pembangunan perkotaan jangka panjang.
Fungsi RTR Wilayah Kota adalah untuk menjaga konsistensi perkembangan kawasan perkotaan dengan strategi perkotaan nasional dan arahan RTRW Provinsi dalam jangka panjang, menciptakan keserasian perkembangan kota dengan wilayah sekitarnya, serta menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dan daerah. Muatan RUTR Kawasan Perkotaan meliputi tujuan, rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang Kawasan Perkotaan, dan upaya-upaya pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan fungsional perkotaan, dan kawasan tertentu, serta pedoman pengendalian pembangunan Kawasan Perkotaan. Dalam pelaksanaannya, RTR Wilayah Kota yang selayaknya menghasilkan suatu kondisi yang ideal pada umumnya masih sulit terwujud. Salah satu penyebabnya adalah masalah yang terkait dengan ruang daratan, dalam hal ini tanah.
Pada kenyataan di lapangan, tanah tersebut telah dikuasai, dimiliki, digunakan, dan dimanfaatkan baik oleh perorangan, masyarakat, badan hukum, maupun pemerintah. Di satu sisi RTR Wilayah Kota telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah, tetapi di sisi lain ada yang telah menguasai dan memiliki tanah, sebagian bahkan memiliki kepastian hukum akan tanahnya dalam bentuk hak atas tanah (sertifikat tanah). Dengan mengingat hampir semua kegiatan pembangunan memang mengambil tempat di atas tanah, dan bahwa dalam rangka implementasi RTRW diperlukan pengaturan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak terpisahkan satu sama lain, maka Pemerintah telah menerbitkan PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah dalam rangka melaksanakan Pasal 16 ayat (2) UU No.24/1992 yang menyatakan perlu adanya ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah.





PERMASALAHAN
Berdasarkan UU No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang (proses penyusunan rencana tata ruang), tetapi termasuk pula dimensi pemanfaatan ruang (wujud operasionalisasi rencana tata ruang/pelaksanaan pembangunan) dan pengendalian pemanfaatan ruang (mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya). 
Pada pelaksanaannya, beberapa masalah biasanya timbul pada proses pemanfaatan ruang. Issue dan tantangan dalam penataan ruang yang terkait dengan pembangunan perumahan dan permukiman antara lain :
  1. Pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman belum sepenuhnya mengacu pada RTRW, dan masih berorientasi pada pengembangan yang bersifat horizontal (contoh : kasus kota metropolitan dan kota besar), sehingga cenderung menciptakan urban sprawling (pembangunan yang tidak terpola dengan baik) dan inefisiensi pelayanan prasarana dan sarana.
  2. Izin lokasi pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman melebihi kebutuhan nyata sehingga meningkatkan luas area lahan tidur (vacant land) (Herry Darwanto,2003).
  3. Pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman belum memberikan rasa keadilan kepada penduduk berpenghasilan rendah sehingga selalu tersingkir ke luar kota dan jauh dari tempat kerja.
  4. Pemanfaatan ruang untuk perumahan dan permukiman belum serasi dengan pengembangan kawasan fungsional lainnya atau dengan program sektor/fasilitas pendukung lainnya.
  5. Ketidakseimbangan pembangunan desa – kota serta meningkatnya urbanisasi yang mengakibatkan permukiman kumuh dan berkembangnya masalah sosial di kawasan perkotaan.
  6. Konflik penggunaan lahan, khususnya antara penggunaan permukiman dengan penggunaan kawasan lindung.
  7. Kebutuhan lahan untuk permukiman semakin meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk. Data menunjukkan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dari 32,8 juta / 22,3% dari total penduduk nasional (1980), menjadi 74 juta / 37% (1998) dan diperkirakan akan menjadi 150 juta / 60% dari total penduduk nasional pada tahun 2015, dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990 – 1995) (Kepala BPN,2004).
  8. Tingginya laju pertumbuhan penduduk ini akan menimbulkan kebutuhan lahan perumahan dan permukiman yang sangat besar, sementara kemampuan Pemerintah sangat terbatas. Menurut catatan, hanya 15% kebutuhan perumahan yang mampu disediakan oleh pemerintah, sisanya sebesar 85% disediakan oleh masyarakat atau swasta. Apabila pembangunan perumahan yang dilakukan oleh masyarakat atau swasta tidak dikendalikan pengembangannya, maka akan menimbulkan masalah besar yang mengancam kawasan lindung.
  9. Tantangan terbesar dalam penataan ruang serta pembangunan perumahan dan permukiman adalah bagaimana memberdayakan peran masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan perumahannya sendiri yang sehat, aman, serasi, dan produktif tanpa merusak lingkungan hidup dan merugikan masyarakat luas.










PENATAGUNAAN TANAH
Dalam UU No.24/1992 dinyatakan bahwa Ruang Wilayah Negara Indonesia sebagai wadah atau tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatannya. Ruang wilayah negara, khususnya ruang daratan sebagai suatu sumber daya alam dari berbagai subsistem ruang wilayah negara dalam pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang meliputi aspek poleksosbudhankam dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan lainnya di setiap wilayah, dalam implementasinya akan sangat terkait keberadaannya dengan penatagunaan tanah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 52 UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan sejalan dengan ketentuan dalam UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tertuang dalam PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah.  Secara garis besar PP ini memuat ketentuan yang mengatur implementasi RTRW di atas ruang daratan dalam hal ini tanah, terutama yang terkait aspek pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dalam PP tersebut diatur mengenai kebijakan penatagunaan tanah dan penyelenggaraan penatagunaan tanah.
Kebijakan penatagunaan tanah yang merupakan bagian terpenting dari penataan ruang bertujuan untuk mengatur dan mewujudkan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) untuk berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan sesuai dengan RTRW dan mewujudkan tertib pertanahan dengan tetap menjamin kepastian hukum atas tanah bagi masyarakat.  Kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap seluruh bidang tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di Kawasan Lindung mapun Kawasan Budidaya. Dalam rangka menjamin kepastian hukum atas tanah, PP Penatagunaan Tanah menegaskan bahwa penetapan RTRW tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas tanah, dalam hal ini hak atas tanah tetap diakui. Namun demikian, pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah, yang dimaksudkan agar tanah tersebut digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan daya dukungnya, tidak dibiarkan terlantar serta diwajibkan untuk memelihara dan mencegah kerusakan tanah tersebut. Kebijakan penatagunaan tanah meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung dan budidaya.Dalam rangka penyelenggaraan penatagunaan tanah,  dilaksanakan kegiatan sebagai berikut :
1. inventarisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; 
2. penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan; 
3. penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah dengan RTRW.  
Penentuan kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW didasarkan atas pedoman, standar dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah, yang kemudian dijabarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing. Pelaksanaan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan RTRW dapat dilakukan melalui :
  1. penataan kembali (konsolidasi tanah, relokasi, tukar menukar, dan peremajaan kota), 
  2. upaya kemitraan, 
  3. penyerahan dan pelepasan hak atas tanah kepada negara/pihak lain dengan penggantian sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Salah satu upaya penatagunaan tanah seperti disebutkan di atas adalah melalui Konsolidasi Tanah yang juga telah diatur pelaksanaannya dalam Peraturan BPN No. 4 tahun 1992. Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah agar sesuai dengan RTRW, serta usaha-usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya alam, dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Tujuannya adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah dengan sasaran untuk mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur, dalam arti untuk pengembangan kawasan baru maupun pembangunan kawasan kota (urban renewal).   Khusus untuk kawasan perumahan dan permukiman, konsolidasi tanah dapat memenuhi kebutuhan akan adanya : i) lingkungan permukiman yang teratur, tertib, dan sehat, ii) kesempatan kepada pemilik tanah untuk menikmati secara langsung keuntungan konsolidasi tanah, baik kenaikan harga tanah maupun kenikmatan lainnya karena terciptanya lingkungan yang teratur, iii) terhindar ekses-ekses yang sering timbul dalampenyediaan tanah secara konvensional, iv) percepatan laju pembangunan wilayah permukiman, v) tertib administrasi pertanahan serta menghemat pengeluaran dana Pemerintah untuk biaya pembangunan prasarana, fasilitas umum, ganti rugi, dan operasional. Pada awalnya konsolidasi tanah dilakukan di daerah pinggiran kota. Dalam perkembangannya, konsolidasi tanah juga dapat diadaptasikan pada bagian wilayah kota yang lain untuk mendukung pengaturan persil tanah di perkotaan.
Beberapa wilayah yang potensi untuk dikonsolidasi antara lain :
  1. Wilayah yang direncanakan menjadi kota/permukiman baru (Kasiba/Lisiba);
  2. Wilayah yang sudah mulai tumbuh;
  3. Wilayah permukiman yang tumbuh pesat;
  4. Wilayah bagian pinggir kota yang telah ada atau direncanakan jalan penghubung;
  5. Wilayah yang relatif kosong;
  6. Wilayah yang belum teratur/kumuh;
  7. Wilayah yang perlu renovasi/rekonstruksi karena kebakaran/bencana, dan lain-lain.










PENUTUP
Tanah adalah unsur ruang yang strategis dan pemanfaatannya terkait dengan penataan ruang wilayah. Penataan ruang wilayah mengandung komitmen untuk menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam kerangka kebijakan pertanahan yang berlandaskan UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Sehubungan dengan itu dan atas perintah Pasal 16 UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, maka dalam rangka pemanfaatan ruang perlu diselenggarakan penatagunaan tanah yang mencakup pengaturan terhadap pola pengelolaan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, agar sesuai dengan RTRW yang tertang dalam PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Pembangunan tanpa tersedianya tanah tidak mungkin terselenggara. Tanah diperlukan sebagai sumberdaya sekaligus sebagai tempat penyelenggaraan pembangunan. Sebaliknya, tanah tidak akan memberikan kemakmuran tanpa pembangunan karena yang memberikan kemakmuran adalah kegiatan manusiadiatas tanah. Oleh karena itu penataan pertanahan tidak dapat lepas dari sistem pembangunan nasional. Dalam proses perencanaan tata ruang, kondisi pertanahan merupakan faktor yang harus diperhatikan. Aspek-aspek pertanahan yang harus diperhatikan itu antara lain : keadaan penggunaan tanah saat sekarang, kondisi fisik kemampuan tanah, potensi tanah, dan status penggunaan tanah.
Dalam upaya mewujudkan kondisi ideal dari suatu rencana tata ruang dengan kondisi penggunaan, potensi dan penguasaan tanah yang ada saat sekarang, maka diperlukan serangkaian tindakan yang melibatkan kegiatan pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah. Hal ini merupakan keharusan mengingat tanah yang ada dalam suatu wilayah/ruang pada umumnya telah memiliki hak-hak atas tanah yang juga memberikan kewenangan kepada pemilik tanah untuk mengelola tanah yang dikuasainya. Implikasinya adalah bahwa pemegang hak atas tanahlah yang akhirnya akan terkena dampak dan menjadi pelaksana dari kebijaksanaan penataan ruang tersebut. Selanjutnya dalam langkah operasional, upaya pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan kondisi ideal ditempuh melalui mekanisme pengadaan tanah dan pengendalian penggunaan tanah, antara lain melalui izin lokasi dan pemberian hak atas tanah.
Pada dasarnya, penatagunaan tanah merujuk pada RTRW Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan. Bagi Kabupaten/Kota yang belum menetapkan RTRW, penatagunaan tanah merujuk pada rencana tata ruang lain yang telah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan untuk daerah bersangkutan.




























DAFTAR PUSTAKA
Deputi Bidang Tatalaksana Pertanahan – Badan Pertanahan Nasional. 2002. Mekanisme Penatagunaan Tanah dalam Pengelolaan Pertanahan di  Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Makalah pada Lokakarya  Kewenangan Pemerintah dalam rangka Otonomi Daerah. Land Management and Policy Development Program. Hotel Hilton. Jakarta .
Dirjen Perumahan dan Permukiman – Dep. Kimpraswil. 2002. Pengelolaan Tanah untuk Pembangunan Perumahan dan Permukiman dalam Kerangka Penataan Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.Makalah pada Lokakarya Kewenangan Pemerintah dalam rangka Otonomi Daerah. Land Management and Policy Development Program.Hotel Hilton.Jakarta.
Herry Darwanto. 2003. Peran dan Kerjasama Kelembagaan di Tingkat Pusat untuk Menangani Masalah Pembangunan Perkotaan. Makalah untuk Diskusi Staf Ditjen TPTP tentang Pemberdayaan Tugas Pembangunan Perkotaan dalam Era Desentralisasi.
Kepala BPN. 2004.Aspek Pertanahan dan Tata Ruang, Hubungan Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Makalah pada Rakerda BKTRN. Pontianak.

PENGARUH IKLIM PADA PRODUKSI TANAMAN

Latar belakang

Di Indonesia, perhatian dan kerjasama antara para ahli klimatologi dengan ahli pertanian semakin meningkat terutama dalam rangka menunjang produksi tanaman pangan. Daya hasil beberapa tanaman pangan di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat. Perbedaan ini disebabkan oleh pemakaian teknologi tinggi dan pengelolan yang baik. Peningkatan produksi tanaman pangan selain dengan panca usaha tani juga dilakukan dengan pemanfaatan iklim, namun sekarang penyimpangan-penyimpangan terhadap iklim sering terjadi. Pengalaman menunjukkan bahwa secara temporer berbagai bentuk penyimpangan iklim telah sering mengancam sistem produksi pertanian.  Ancaman tersebut tidak saja menyebabkan gangguan produksi, tetapi juga menggagalkan panen dalam luasan ratusan ribu hektar. Peristiwa kekeringan tahun 1994 dan 1997 merupakan yang terburuk selama abad 20.
Luas areal pertanian di Indonesia yang mengalami kekeringan mencapai 161.144 sampai 147.126 ha yang mengakibatkan  penurunan produksi beras nasional secara signifikan dan pemerintah kembali harus mengimpor beras sekitar 5 juta ton.  Kerawanan sosial sebagai dampak lanjutan dari kekeringan ini akan semakin memberatkan manakala periode ulang El Nino meningkat menjadi 2-3 tahun satu kali. Sehingga secara garis besarnya adalah hasil suatu jenis tanaman bergantung pada interaksi antara faktor genetis dan faktor lingkungan seperti jenis tanah, topografi, pengelolaan, pola iklim dan teknologi. Dari faktor lingkungan, maka faktor tanah merupakan modal utama. Keadaan tanah sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim, yaitu hujan, suhu dan kelembaban. Pengaruh itu kadang menguntungkan tapi tidak jarang pula merugikan(Tjasyono, 2004).




PEMBAHASAN

Tanah dalam perannya sebagai penentu tinggi atau rendahnya suatu produktvitas tanaman dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu :
1.      Climate Soil tipe, adalah tanah yang pembentukannya dipengaruhi oleh hujan dan temperatur. biasa disebut dengan faktor hujan dan dengan rumus :
R = r / t
Ket:     R: faktor hujan
r: curah hujan tahunan
t : temperatur
faktor hujan Lang mengambil batasan R=40, untuk daerah kering dimana nilai R kurang dari 40 tanaman akan tumbuh kurang baik karena pembentukan zat organik kurang. Apabila R lebih dari 40 kemungkinan produksi zat organik akan lebih besar. Saat R=120 berarti tanah tersebut bertipe optimal bagi pertumbuhan. Namun apabila R lebih dari 120 maka akan terjadi humus yang berlebihan, akibatnya akan terbentuk gambut.
2.      Aclimate Soil type, adalah tanah yang pembentukannya bukan disebabkan oleh faktor iklim, melainkan keadaan batuan.
Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap tanah adalah hujan. Air hujan akan mengikis bagian top soil tanah yang merupakan bagian tanah yang subur. Apabila bagian top soil dibiarkan terkikis terus menerus, maka lapisan ini akan hilang dan yang tampak adalah lapisan bagian bawahnya, yang dikenal denga sub soil. Sub soil ini merupakan lapisan di bawahnya yang kurang subur, masih mentah, di mana mikroorganismenya sudah hilang sehingga diperlukan perbaikan-perbaikan yang memakan waktu cukup lama untuk menjadi produktif kembali (antara 2-5 tahun).
Pada tanah yang memiliki land slope 5%-10% gejala-gejala erosi pada top soil bisa terjadi. Sehingga perlu dilakukan tindakan-tindakan praktis untuk mempertahankan produktivitasnya. Misalnya dengan melakukan penanaman menurut kontur dan cross slope seeding of legumes. Pada tanah yang yang memiliki land slope yang lebih curam yaitu antara 15%-25% yang menurut penelitian lapisan top soilnya hampir seluruhnya terhanyutkan maka perlu dibuatkan sengkedan dan drinage yang baik agar saat hujan deras pengikisan lapisan top soilnya dapat dikurangi(Tjasyono, 2004).
Tanah yang memiliki land slope antar 25%-35%, yang berdasarkan penelitian bagian top soil-nya telah tererosi hebat, kandungan kelembabannya sangat dipengaruhi angin kencang, akan tetapi dalam batas-batas tertentu masih dapat ditanami misalnya : tanaman yang tumbuhnya rapat, rumput-rumputan atau jenis makanan ternak. Dengan membiarkan jenis rerumputan tumbuh didaerah ini, kemungkinan lapisan permukaan akan sedikit demi sedikit terbentuk kembali. Tanah yang memiliki land slope melebihi 40% sebaiknya dipelihara sebagai tanah-tanah hutan, ditanami dengan tanaman keras sedang ground cover crops-nya seperti rerumputan dan semak belukar, dengan cara ini erosi dapat dihambat. Berbeda dengan faktor tanah yang telah banyak dipelajari dan difahami, cuaca dan iklim merupakan salah satu peubah dalam produksi pangan yang paling sukar dikendalikan. Oleh karena itu dalam usaha pertanian, umumnya disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Junghuhn mengklasifikasi daerah iklim di Pulau Jawa secara vertikal sesuai dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan. Pembagian daerah iklim tersebut adalah:
1.      Daerah: panas / tropis
Tinggi tempat : 0 – 600 m dari permukaan laut.
Suhu : 26,3o C – 22o C.
Tanaman : padi, jagung, kopi, tembakau, tebu, karet, kelapa, coklat.
2.      Daerah sedang
Tinggi tempat : 600 m – 1500 m dari permukaan laut.
Suhu : 22o C – 17,1o C.
Tanaman : padi, tembakau, teh, kopi, coklat, kina, sayur-sayuran.
3.      Daerah sejuk
Tinggi tempat : 1500 – 2500 m dari permukaan laut.
Suhu : 17,1o C – 11,1o C.
Tanaman : kopi, teh, kina, sayur-sayuran.
4.      Daerah dingin
Tinggi tempat : lebih dari 2500 m dari permukaan laut.
Suhu : 11,1o C – 6,2o C.
Tanaman : Tidak ada tanaman budidaya
 (Anonim, 2010).
Faktor iklim yang mempengaruhi produktivitas tanaman terdiri dari suhu, Air, Radiasi matahari,dan Angin.
1)      Suhu
Suhu udara merupakan faktor lingkungan yang penting karena berpengaruh pada pertumbuhan tanaman dan berperan hampir pada semua proses pertumbuhan. Suhu udara merupakan faktor penting dalam menentukan tempat dan waktu penanaman yang cocok, bahkan suhu udara dapat juga sebagai faktor penentu dari pusat-pusat produksi tanaman, Suhu udara dan tanah mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai batas suhu minimum, optimum dan maksimum yang berbeda-beda untuk setiap tingkat pertumbuhannya. Gandum dalam musim dingin tahan berada dalam kondisi suhu nisbi rendah dan dan dapat bertahan dalam suhu beku selama periode musim dingin. Tanaman tropis misalnya coklat memerlukan suhu tinggi sepanjang tahun. Batas atas suhu yang mematikan aktivitas sel-sel tanaman berkisar antara 1200 sampai 1400 F tetapi nilai ini beragam sesuai dengan jenis tanaman dan tingkat pertumbuhannya.
Suhu tinggi tidak mengkhawatirkan dibandingkan suhu rendah dalam menahan pertumbuhan tanaman, asal persediaan air memadai dan tanaman dapat menyesuaikan terhadap daerah iklim. Dalam kondisi suhu yang sangat tinggi, pertumbuhan terhambat bahkan terhenti tanpa menghiraukan persediaan air, dan kemungkinan keguguran daun atau buah sebelum waktunya. Bencana terhadap tanaman pangan biasanya berasal dari keadaan kering yang sangat panas dan angin yang mempercepat penguapan dan mengakibatkan dehidrasi jaringan tanaman.
Ditinjau dari klimatologi pertanian, suhu udara di Indonesia dapat berperan sebagai kendali pada usaha pengembangan tanaman padi di daerah-daerah yang mempunyai dataran tinggi. Sebagian besar padi unggul dapat berproduksi dengan baik sampai pada ketinggian 700 dpl, demikian juga tanaman kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau.
Suhu udara rata-rata yang tinggi baik untuk tanaman seperti kacang tanah dan kapas. Sedangkan gandum, kentang dan tomat dapat ditanam di dataran tinggi dengan suhu yang lebih rendah. Jenis tanaman yang tahan kekeringan diantaranya ubi kayu, wijen, kacang tanah, kacang hijau dan semangka.

2)      Air
Air adalah faktor yang lebih penting dalam produksi tanaman dibandingakan dengan faktor lingkungan lainnya. Tanaman pangan memperoleh persediaan air dari akar, itu sebabnya pemeliharaan kelembaban tanah merupakan faktor yang penting dalam pertanian. Jumlah air yang berlebih dalam tanah akan mengubah berbagai proses kimia dan biologis yang membatasi jumlah oksigen dan meningkatkan pembentukan senyawa yang berbahaya bagi akar tanaman. Curah hujan yang lebat dapat menggangu pembungaan dan penyerbukan.
Curah hujan memegang peranan pertumbuhan dan produksi tanaman pangan. Hal ini disebabkan air sebagai pengangkut unsur hara dari tanah ke akar dan dilanjutkan ke bagian-bagian lainnya. Fotosintesis akan menurun jika 30% kandungan air dalam daun hilang, kemudian proses fotosintesis akan berhenti jika kehilangan air mencapai 60% .
Pola umum curah hujan di Kepulauan Indonesia dapat dikatakan sebagai berikut:
a.       Pantai barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak dari pantai timur.
b.      Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT merupakan barisan pulau-pulau yang panjang dan berderet dari barat ke timur. Pulau-pulau ini hanya diselingi oleh selat-selat yang sempit, sehingga untuk kepulauan ini secara keseluruhan tampak seakan akan satu pulau, sehingga berlaku juga dalil, bahwa di sebelah timur curah hujan lebih kecil, kalau dibandingkan dengan sebelah barat. Sebelah barat dari jejeran pulau ini adalah pantai Barat Jawa Barat.
c.       Selain bertambah jumlahnya dari timur ke barat, hujan juga bertambah jumlahnya dari dataran rendah ke pegunungan, dengan jumlah terbesar pada ketinggian 600 – 900 m.
d.      Di daerah pedalaman semua pulau, musim hujan jatuh pada musim Pancaroba, demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar-besar.
e.       Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak D.K.A.T.
f.       Saat mulai turunnya hujan juga bergeser dari Barat ke Timur. Pantai Barat Pulau Sumatera sampai Bengkulu, mendapat hujan terbanyak bulan November. Lampung, Bangka, yang letaknya sedikit ke timur, pada bulan Desember. Sedangkan Jawa (utara), Bali, NTB, NTT pada bulan Januari-Februari, yang letaknya lebih ke timur lagi.
g.      Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah mempunyaimusim hujan yang berbeda, yaitu Mei-Juni. Justru pada waktu bagian lain Kepulauan Indonesia ada pada musim kering. Batas wilayah hujan Indonesia Timur kira-kira terdapat pada 120o bujur timur.

Pada kondisi alami, kelebihan air kurang bermasalah jika dibandingkan dengan kekeringan. Kekeringan didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang membutuhkan air untuk transpirasi dan penguapan langsunga melalui jumlah air yang tersedia di tanah. Kekeringan dapat dibedakana menjadi tiga kelas yaitu :
  1. Kekeringan permanen yang disebabkan oleh iklim kering.
  2. Kekeringan musiman yang terjadi pada iklim dengan periode cuaca kering tahunan berbeda.
  3. Kekeringan akibat keadaan curah hujan yang berubah-ubah.
Sumber pokok dari kekeringan adalah curah hujan, meskipun faktor peningkatan kebutuhan air cenderung meningkat. Kelembaban nisbi rendah, angin kencang dan suhu yang tinggi merupaka faktor pendukung kekeringan karena faktor ini mempercepat evapotranspirasi. Tanah yang kehilangan air secara cepat oleh penguapan atau pembuangan air juga meningkatkan kekeringan. Irigasi adalah cara yang paling cocok untuk mengatasi kekeringan. Jika ada irigasi maka suhu menjadi faktor iklim yang penting dalam mengendalikan produksi tanaman pangan.

3)      Radiasi matahari
Radiasi matahari yang ditangkap klorofil pada tanaman yang mempunyai hijau daun merupakan energi dalam proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini menjadi bahan utama dalam pertumbuhan dan produksi tanaman pangan. Selain meningkatkan laju fotosintesis, peningkatan cahaya matahari biasanya mempercepat proses pembungaan dan pembuahan. Sebaliknya, penurunan intensitas radiasi matahari akan memperpanjang masa pertumbuhan tanaman. Jika air cukup maka pertumbuhan dan produksi padi hampir seluruhnya ditentukan oleh suhu dan radiasi matahari.
Tanaman yang dipanen buah atau bijinya akan tumbuh dengan baik pada intensitas radiasi matahari yang tinggi. Pada tanaman kedelai penurunan intensitsa radiasi matahari akan menurunkan hasil polong dan biji kering. Intensitas radiasi yang rendah sejak penanaman dapat menurunkan hasil yang sangat besar jika dibandingakan jika hanya pada fase pengisian polong.
Radiasi matahari merupakan faktor penting dalam metabolisme tanaman yang berklorofil, karena itu produksi tanaman dipengaruhi oleh tersedianya cahaya matahari, Tapi umumnya fluktuasi hasil dari tahun ke tahun tidak mempunyai korelasi dengan ketersediaan radiasi matahari, karena produksi tanaman ditentukan juga oleh faktor-faktor lainnya.

4)      Angin
Angin adalah udara yang bergerak akibat adanya perbedaan tekanan udara dengan arah aliran angin dari tempat yang memiliki tekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah atau dari daerah yang memiliki suhu / temperatur rendah ke wilayah bersuhu tinggi.
Angin memiliki hubungan yang erat dengan sinar matahari karena daerah yang terkena banyak paparan sinar mentari akan memiliki suhu yang lebih tinggi serta tekanan udara yang lebih rendah dari daerah lain di sekitarnya sehingga menyebabkan terjadinya aliran udara. Angin juga dapat disebabkan oleh pergerakan benda sehingga mendorong udara di sekitarnya untuk bergerak ke tempat lain.
Angin secara tidak langsung mempunyai efek penting pada produksi tanaman.. Energi angin merupakan perantara dalam penyebaran tepung sari pada penyerbukan alamiah, tetapi angin juda dapat menyebarkan benih rumput liar dan melakukan penyerbukna silang yang tidak diinginkan. Angin yang terlalu kencang juga akan menggangu penyerbukan oleh serangga.
Angin dapat membantu dalam menyediakan karbon dioksida yang membantu pertumbuhan tanaman, selain itu juga mempengaruhi suhu dan kelembaban tanah, namun pada saat musim kemarau di beberapa daerah di Indonesia bertiup angan fohn yang dapat merusak karena bersifat kering dan panas. Pada siang hari didaerah sekitar pantai, angin laut dapat menyebabkan masalah karena angin ini membawa butiran garam yang dapat merusak daun(Tjasyono, 2004).
Tanaman dan syarat pertumbuhannya
A.    Kentang
Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan sumber utama karbohidrat, sehingga menjadi komoditi penting. Untuk itulah dibutuhkan penanganan yang lebih baik dalam penanaman dan pemeliharaannya. Syarat pertumbuhan,kentang ditanam pada iklim yang Curah hujan rata-rata 1500 mm/tahun, lama penyinaran 9-10 jam/hari, suhu optimal 18-21 °C, kelembaban 80-90% dan ketinggian antara 1.000-3.000 m dpl, Kemudian mempunyai Struktur tanah yang remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan memiliki lapisan olah yang dalam dan pH antara 5,8-7,0. Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan sumber utama karbohidrat, sehingga menjadi komoditi penting. Curah hujan rata-rata 1500 mm/tahun, lama penyinaran 9-10 jam/hari, suhu optimal 18-21 °C, kelembaban 80-90% dan ketinggian antara 1.000-3.000 m dpl. Struktur remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan memiliki lapisan olah yang dalam dan pH antara 5,8-7,0.
B.     Kopi
Setiap jenis kopi memerlukan tinggi tempat dari permukaan laut dan temperatur yang berbeda-beda. Jenis Arabika dapat hidup pada 1000-1700 m diatas permukaan laut dengan suhu 16 -200C.Jenis Robusta dapat hidup pada 500-1000 m diatas permukaan laut tetapi yang baik 800 m diatas permukaan laut dengan suhu 200C. Pertanaman kopi arabika yang dekat permukaan laut banyak diserang penyakit karat daun, sedang ketinggian lebih dari 2000 m sering diganggu embun upas. Jenis Liberica dapat hidup baik didaratan rendah. Curah hujan yang dibutuhkan tanaman kopi minimal dalam 1 tahun 1000-2000 mm, optimal 2000-3000 mm sedang di Indonesia curah hujan terletak 2000 – 3000 mm. Kopi robusta menghendaki musim kemarau 3-4 bulan, tetapi pada waktu itu harus sering ada hujan yang cukup. Musim kering dikehendaki maksimal 1,5 bulan sebelum masa berbunga lebat, sedangkan masa kering sesudah berbunga lebat sedapat mungkin tidak melebihi dua minggu.Pohon kopi tidak tahan terhadap angin yang kencang, lebih-lebih dimusim kemarau, karena angin ini akan mempertinggi penguapan air dipermukaan tanah dan juga dapat mematahkan pohon pelindung,untuk mengurangi hal-hal tersebut ditepi-tepi kebun ditanam pohon penahan angin Tanah yang dikehendaki adalah yang mempunyai solum yang cukup dalam gembur dengan bahan organik yang cukup, karenanya sangat cocok ditanam pada tanah bekas hutan. Keasaman (pH) tanah 5,5 – 6,5 dengan air tanah cukup dalam.
C.      Alpukat
Bagi varietas-varietas alpukat Indonesia suhu optimum adalah sekitar 25 – 300C (siang hari) dan 15 – 200C (malam hari).Periode dengan suhu malam hari yang dingin dan berkepanjangan, seperti yang biasanya terjadi antara bulan Juli dan Agustus, akan merangsang produksi bunga. Pohon-pohon alpukat yang sudah mapan dapat mentoleransi suhu sampai setinggi 400C, tetapi tidak dapat mentoleransi kombinasi suhu > 400C yang berkepanjangan dan kelembaban rendah, yang mengakibatkan stress dan berkurangnya produktivitas. Pohon alpukat hanya memerlukan syarat-syarat yang moderat mengenai kebasahan: curah hujan 1.000 – 1500 mm/tahun sudah mencukupi. Malah diketahui bahwa di Indonesia bagian Timur di mana curah hujan hanya sekitar 500 mm/tahun, pohon alpukat masih dapat tumbuh. Perlu diperhatikan bahwa kebutuhan akan air sangat kritis pada waktu pohon berkembang dan pada waktu pembentukan buah. Juga kebutuhan akan air sangat kritis tiga bulan sesudah pohon berkembang, yaitu saat buah tumbuh maksimum dan berlanjut sampai buah benar-benar tua. Pohon alpukat dapat tumbuh di bermacam tanah, tetapi paling baik hidup di tanah bertekstur medium dengan pH 5,5 – 6,5. Pohon alpukat tidak toleran terhadap penggenangan yang berkepanjangan, karenanya sangat penting untuk menanam pohon alpukat di daerah-daerah dengan struktur tanah yang mudah terdrainase.
D.     Coklat
Tanaman coklat merupakan tanaman tropis yang dipengaruhi oleh kelembaban dan temperatur. Coklat dapat hidup pada daerah yang ada pada 200 LU dan 200 LS. Hidup dan berkembang di dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl. Temperatur rata-rata tahunan yang dikehendakinya 250 C dengan suhu rata-rata harian terendah tidak kurang dari 150 C. Tanaman coklat sangat tidak tahan tehadap penyimpangan temperatur yang mencolok, jika suhu harian di bawah 150 C mata-mata tunas akan berkembang menjadi tunas-tunas, dan apabila hal ini terus terjadi maka persediaan makanan dalam batang akan berkurang dan mempengaruhi pertumbuhan. Curah hujan yang dikehendaki antara 1700 mm sampai 3000 mm per tahun. Namun dalam kondisi tanah berlempung dengan distribusi merata dapat juga hidup dengan baik pada daerah dengan curah hujan 1500 mm per tahun. Kebutuhan cahaya untuk asimilasi yang maksimal 75% dari cahaya matahari. Kelembaban tanah antara 6,1 sampai 7 dengan pH antara 6,1 sampai 8,1.
E.      Cengkeh
Tanaman cengkeh adalah tanaman daerah tropis. Temperatur harian yana baik untuk tanaman ini antara 650 F sampai 850 F. Cengkeh dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian 900 m dpl. Curah hujan yang dikehendaki merata sepanjang tahun, dari 12 bulan dalam setahun 9 bulan dikehendaki bulan-bulan basah dan 3 bulan kering. Pada bulan kering ini dikehendaki curah hujannya 60-80 mm. Curah hujan per tahun yang dikehendaki antara 2000-6000mm. Tumbuh baik pada tanah gembur dengan pH 4,5 (Anonim, 2010).

KESIMPULAN

1.      Pembagian daerah iklim berdasarkan : Daerah panas / tropis, Daerah sedang, Daerah sejuk dan Daerah dingin.
2.      Faktor iklim yang mempengaruhi produktivitas tanaman terdiri dari suhu, Air, Radiasi matahari,dan Angin















DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2010.Pengaruh Cuaca,Iklim & Tanaman. http://yprawira.wordpress.Com/ pengaruh–cuaca-iklim-dan-tanaman/. diakses 11 November 2010
Kartasapoetra, Ance Gunarsih, Ir., 1993. Klimatologi Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. Jakarta : Bumi Aksara.
Tjasyono, Bayon. 2004. Klimatologi. Bandung : ITB.