Hari wisuda sangatlah hari yang dinantikan oleh semua mahasiswa, tak jarang deretan bunga indah nan menawan pun selalu menampakkan pesona nya untuk memberi ucapan selamat dan melambangkan kebanggaan di pangkuan para wisudawan atau wisudawati dengan berbagai predikat gelar. Persiapan untuk menyambut hari yang dianggap sakral itupun seringkali membuat para calon wisudawan / wisudawati terpontang-panting mempersiapan segala perlengkapan dari baju, sepatu, penginapan untuk orang tua dan sebagai nya tapi tak jarang pula yang hanya mempersiapkan seadanya, dan salah satunya adalah diriku sendiri. Hari kebanggaan dimana itu sangat menjadi momok yang berat bagiku, memang tak ku sangkal bahwa aku pun sangat merasa senang ketika masa penantian ku setelah 4 tahun ini telah terlewati dan terselesaikan dengan hasil yang cukup membuat ku tenang akan tetapi seseorang menyadarkanku bahwa kebahagiaan itu takkan lama. Dan aku sangat bersyukur untuk peringatan itu, setidaknya otak ku sudah mulai berfikir keras sejak 1 bulan sebelum acara wisuda berlangsung dan pengesahan gelar ku di kumandangkan. Hal itu membuat hari wisuda ku tgl 13 desember adalah hari yang menyenangkan sekaligus hari yang sangat menakutkan bagku, betapa tidak, hari itu semua orang menyanjungku, meberiku gelar, memberikan ku do’a, dan bunga-bunga kebanggaan pun tak luput dari prosesi wisudaku, akan tetapi menjelang malam orang tua ku telah mulai mengerutkan dahi dan bertanya “kamu mau kerja dimana setelah ini? Ataukah mau melanjutkan beasiswa? Sudah dapat beasiswa apa untuk melajutkan? Ataukah kamu sudah memiliki calon suami dan akan segera menikah?” , dan saat itu aku telah siap mendengar pujian sekaligus cemoohan. Meskipun sebenarnya aku telah dapat dikatakan “sudah bekerja” dan telah “mendapatkan pekerjaan” atau “bukan seseorang tanpa aktivitas” jika dibandingkan teman2 ku yang sibuk berfikir tentang “main”, “menyiapakan perpisahan”, “traktir wisudaan”, tentuny aku merasa jauh lebih baik. Tapi sayang tak ada satu pun orang yang berfikir itu padaku , keluarga ku bahkan seseorang yang juga sangat berarti bagiku. Semuanya selalu memberiku pertanyaan demi pertanyaan tentang “apa rencana mu ke depan nya?” dan menjelaskan masing-masing apa yang mereka semua harapkan dan inginkan dariku. Aku mengerti bahwa semua itu wujud cinta , hanya seringkali aku menerjemahkan nya kepada kata ”penekanan” karena saat itu aku hanya ingin berfikir dan betul2 merencanakan apa pilihan ku dan ku ingin merka mendukung ku. Aku bukan robot yang dapat berfikir cepat, bagaimana pun aku butuh waktu. Seringkali aku muak dengan semua itu, tapi biarlah ku buat hal itu jadi pil pahit bagiku yang harus kutelan, karena ku yakin ini adalah wujud kasih sayang mereka. Bunga itu saat ini telah mulai menguning dan rapuh, Warna semarak yang awalnya begitu menjadi pujaan kini telah menjadi coklat dan layu. Sama dengan diriku, gelar sarjana yang menyandang gelar “pengangguran”, sebenarnya bukan karena memang tak ada lapangan pekerjaan bagiku, sebenarnya jika aku mau, dengan mudahnya aku bisa menjadi seseorang yang setara dengan direktur di yayasan yang ibu ku miliki. Tapi aku sama sekali tak mengingikan itu, dari semua itu aku belajar membuat pilihan dan mengukir pena hidupku, aku ingin mencari recehan di pelataran jalan sana, mengais peluh dan tangisku sendiri. Tanpa harus membebani siapapun, termasuk keluarga ku. Aku ingin mencoba membuktikan bahwa aku bisa mewujudkan itu. Hidup memang sebuah pilihan, mungkin aku adalah salah satu deretan sarjana yang menjadi bahan tawa dan diskusi bagi teman2 ku yang masih mempertahankan idealisme tentang “ sarjana terkatung-katung mencari loker di kota besar “. Meskipun aku menertawakan dirku sendiri, tapi aku tak peduli. Hidup ku adalah jalanku yang menjadi pilihan ku, dimana pada setiap langkahku ku ingin membuat cinta bagi orang-orang yang aku sayangi yaitu keluarga ku. Mungkin memang bukan berarti aku harus membelinya dengan materi tapi aku hanya ingin membuat mereka percaya bahwa aku telah dapat menjadi seseorang yang berarti. salah satu lembaga nirlaba amil zakat yang ku geluti, membuatku belajar bahwa tak selamanya aku harus menjadi jembatan. Aku pun ingin menjadi sang hulu bagi hilir yang dapat berbagi kesejukan dan kesejahteraan surgawi. Itulah pilihanku dan aku harap mereka senantiasa merestui langkah ku, karena bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang sangat berarti untukku, semangat dan tangis ku ada pada tawa dan tangis mereka,,,, bapak, ibu, teteh, aa, org tua tiri ku, dan yuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar